Jumat, 23 Januari 2009

MD: CALON ANGGOTA LEGISLATIF DPR-RI 2009


PROFIL DR HC MURSALIN DAHLAN

Doktor ”Jihad” yang Mengagumi Osama

BAGI sebagian besar umat Islam di Jabar—bahkan di Indonesia—, nama tokoh kita kali ini, tidaklah asing lagi. Apalagi di kalangan aktivis dakwah, Mursalin Dahlan dikenal sebagai sosok tokoh harakah Islamiyah yang telah berkali-kali ”keluar-masuk” sel penjara. Sedikitnya sudah 15 tahun dia mendekam di sel penjara.
SELAMA masa kekuasaan pemerintah Orde Baru, Mursalin—begitu panggilan akrabnya—pernah beberapa kali masuk penjara gara-gara memimpin aksi demonstrasi. Tokoh berkacamata minus dan rambutnya sudah banyak ubannya ini, pernah dituduh terlibat aksi Komando Jihad (Komji) pada 1977-1978 dan membawa ”hikmah” berupa kenal dengan sejumlah tokoh aktivis dakwah saat itu.
Tokoh kita yang kelahiran Tambelan Riau Kepulauan, 19 November 1941 ini, adalah anak pasangan almarhum Dahlan Razak dengan almarhumah, Ny. Basyariah Abdul Aziz. Pendidikan yang pernah ditekuninya antara lain pendidikan dasar di Sekolah Rakyat Negeri (SR-N), SLTP-N, SMAN, dan melanjutkan ke jurusan Teknik Kimia, Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 1962-1967.
Dari pernikahannya dengan Ny. Nurhayati binti Khalil Furqon yang asal Ciamis, Mursalin memperoleh karunia anak dari Allah SWT, masing-masing bernama M Fakku Roqobah (almarhum), Nur Radhiatan Mardiyah, S.Ag., M Jihad Dienullah, S.Ag., Nur Rahmah Islami (UPI), Nur Riyatan Naimah (UPI), dan M Ruhul Jadid (IAIN SGD Bandung).
Secara formal, organisasi yang pernah ditekuninya antara lain Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM). Di organisasi tersebut, Mursalin diamanahkan sebagai Ketua Umum DPD IMM Jabar periode 1963-1966).
Selain itu, sempat pula dipercaya sebagai Wakil Sekretaris Biro Kerohanian Islam Dewan Mahasiswa ITB (1963-1964), Komandan Komando Jihad Fii Sabililaah AMM dalam Aksi Menumpas PKI tahun 1965, Ketua Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar (KAPPI) 1966-1968), yang kemudian menghantarkan dirinya meraih sebutan sebagai salah seorang Angkatan ‘66 Jabar dalam menumpas G 30 S/PKI dan meruntuhkan Orla.
Di masa pemerintahan Orde Baru (Orba), Mursalin menekuni terus kegiatan dakwah dan politiknya. Selain diamanahkan sebagai pengurus di sejumlah ormas dan lembaga keagamaan, seperti Yayasan Islam (Yis) Abad 21, Kompak, dan Yakossis, Mursalin juga menggagas berdirinya Pesantren Kilat (Sanlat) di Malang, Partai Ummat Islam (PUI), Majelis Mujahidin dan Ikhwanul Muslimin Indonesia (Ikhmi). Kini Mursalin sebagai Ketua Umum DPW Partai Ummat Islam (PUI) Jabar.
Di tengah-tengah kesibukannya sebagai penceramah dan instruktur ”jihad”, Mursalin juga masih sempat menulis sejumlah buku pelajaran fisika dan kimia, serta artikel di media massa cetak, baik yang terbit di Indonesia maupun Malaysia.
Dan terakhir, pada 12 Februari 2000, Mursalin memperoleh anugerah doktor honoris causa (Dr.HC) bidang Ilmu Politik dari American Institute of Management Studies dan Modern Institute of Management and Business, di Hotel Hilton, Jl. Sultan Ismail, Kuala Lumpur Malaysia. Pada acara penganugerahan gelar DR.HC, Mursalin menyampaikan pidatonya ”Islam dan Dinamika Politik Indonesia”.
* *
TATKALA ditemui ”PR” di rumahnya yang sederhana di kawasan Citarip Kopo, Bandung, Mursalin banyak bercerita tentang suka-duka perjuangan dan dakwah Islamiyah. ”Keluarga saya bisa dibilang sudah kenyang makan asam-garam perjuangan suami. Beberapa orang anak saya, ada yang lahir tatkala saya berada di dalam penjara. Ada pula yang sekolah hingga selesai, ketika saya sedang di penjara. Tapi, alhamdulillaah, istri dan anak-anak saya sangat tabah menghadapi kenyataan hidup dalam perjuangan jihad fii sabilillaah,” ujar Mursalin.
Menyinggung tentang rejeki bagi keluarganya selama di penjara, Mursalin mengungkapkan, Allah swt sesungguhnya Maha Kaya dan Maha Pengasih. Karenanya, dirinya tidak pesimis terhadap rejeki bagi istri dan anak-anaknya. Apalagi dalam Islam dikenal ajaran ukhuwah Islamiyah, sehingga tidak merasa cemas atas nasib istri dan anak-anaknya.
”Selain ada perhatian dari kaum Muslimin, juga saya sempat menulis sejumlah buku pelajaran sekolah. Misalnya, ketika di Malaysia saya menulis buku dan artikel di koran, serta berceramah. Alhamdulillaah, rejeki-Nya sangat bermanfaat,” ungkap Mursalin.
Mungkin karena sikap dirinya yang selalu kritis pada masa rezim Soeharto dan konsisten dalam perjuangan membela agama Islam serta kepentingan kaum Muslimin, akibatnya sejak masa Pemilu 1971 sampai runtuhnya rezim Orba tahun 1997—Mursalin selalu dimata-matai dan diincar oleh rezim tersebut.
Mursalin menghadapi risiko keluar-masuk tahanan politik tanpa proses hukum dan perikemanusiaan, penyiksaan, mandi darah, pemukulan dan tendangan yang bertubi-tubi serta sadis. Tak cuma itu, juga mengalami penghinaan kata-kata di tengah interogasi yang penuh dengan trik-trik adu domba dan menghalalkan segala cara. Hal itu dialaminya di rumah tahanan politik Kopkamtib yang misterius di Gang Buntu, Jakarta Selatan.
”Kenapa misterius? Karena, saya selalu ditutup matanya sehingga tidak tahu dimanakah sebenarnya lokasi tahanan tersebut. Dan apa yang saya alami ini, ternyata dialami pula oleh teman-teman setahanan, antara lain Ir. Syachirul Alim, MSc—dosen Kimia Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta—bahkan ada yang sampai meninggal dunia seperti Ustadz Jabir dari Jakarta Utara,” ujar Mursalin.
Lintasan pengalaman pahit-getir perjuangannya, tentu perlu dikemukakannya untuk memperjelas sejauhmana politik itu telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan kehidupan dirinya, istri dan anak-anaknya.
Selain itu, berguna pula untuk ”membaca” dan memahami idealisme perjuangan seorang bernama Mursalin plus menjadi latar belakang mengapa perjuangan politiknya secara gigih terus dilakukan tanpa mengenal risiko.
”Memang demikianlah halnya, seseorang tidak mungkin melakukan perjuangan politik yang penuh risiko bila dirinya tidak memiliki idealisme. Sungguh, kita menyaksikan ada orang yang mengaku berjuang di kancah politik tapi tidak memiliki idealisme perjuangan,” katanya.
Dalam tataran ini, lanjutnya, perlu ditegaskan sebenarnya bukanlah gelar Doktor Honoris Causa yang menyebabkan dirinya memiliki idealisme perjuangan politik, melainkan karena idealisme perjuangan politiknyalah yang tampaknya menjadikan dirinya dianugerahi gelar tersebut oleh American Institute of Management Studies (AIMS) Hawaii USA.
Dengan demikian, menurut Mursalin, dapat dikatakan ada perbedaan antara gelar yang diperoleh dari bangku kuliah dengan gelar yang diraih dari fakta nyata berupa penangkapan, interogasi-interogasi dan penahanan hingga berulang kali.
Seseorang yang memperoleh gelar Doktor Honoris Causa melalui bangku kuliah, tidak mesti memiliki idealisme perjuangan politik. Karena, bidang keilmuannya itu murni bukan hasil pengalaman dan orang yang bersangkutan bukanlah ”praktisi politik”.
Memang, seorang ilmuwan politik atau pakar yang peduli dengan persoalan dinamika politik, kerapkali muncul sebagai pengamat politik. ”Kemunculan pakar atau pengamat semacam itu sangat dibutuhkan oleh masyarakat, terutama bagi yang sedikit punya keberanian ”menyerempet” risiko,” ujar Mursalin.
* *
DALAM kaitannya dengan persoalan aksi terorisme internasional yang dilakukan Presiden AS, George Bush ke Afghanistan, Mursalin menunjukkan sejumlah klipingan berita suratkabar dan majalah yang memuat komentarnya.
Seraya mengutip komentar dan artikelnya— di sebuah majalah terbitan Bandung ”Kiblat Umat” dan HU ”PR” (16/10)—, Mursalin mengemukakan, ibarat peribahasa yang berbunyi, ”tangan mencencang bahu memikul”, itulah yang dialami Amerika Serikat (AS) saat ini.
Bukankah AS dengan kekuatan militer dan ekonominya dapat berbuat seenaknya terhadap bangsa-bangsa lain, terutama bangsa-bangsa yang dianggapnya mengganggu hegemoninya. Ibarat cacing, walupun lemah, kalau diinjak pasti akan melawan. Bila AS terus membantu Israel membantai rakyat Palestina, maka pasti ada di antara pejuang mereka yang siap mengorbankan nyawanya untuk melawan AS dengan cara apapun.
”Bila benar yang meledakkan gedung WTC dan Pentagon adalah Osama bin Laden, sesungguhnya itu adalah sesuatu yang wajar. Dan bagi bangsa Palestina itu adalah patriotisme,” ujar Mursalin.
Menurut Mursalin, hanya bangsa-bangsa yang secara kaffah menjalankan Islam yang berani melawan AS. Karena bagi Islam kaffah, AS itu tidak ada apa-apanya. Ibarat kata Alquran, sesungguhnya AS atau negara-negara sekuler semuanya adalah sarang laba-laba.
”Itu dibuktikan Allah, dengan hancurnya WTC dan Pentagon oleh kapal terbangnya sendiri, pelatih pilot pembajak adalah pelatih mereka sendiri.” Berkaitan dengan asumsi bahwa umat Islam harus kembali kepada Allah, menurut Mursalin, itu berarti, umat Islam mesti mau menerima Islam secara kaffah dan menjadikan Islam sebagai dasar dan hukum negaranya. Hanya dengan itu, umat Islam bisa hidup mandiri, baik secara individu, masyarakat, bangsa dan negara.
”Terus terang, saya mengagumi kepahlawanan Osama. Dan jika saya Osama, saya akan bersujud syukur kepada Allah swt, karena ditakuti orang-orang kafir sedunia. Dan memang demikianlah mestinya orang Islam, selalu ditakuti orang-orang kafir dan sekuler.”
Orang-orang Islam yang dianggap cacing cau oleh kaum kafir dan sekuler, bisa dipastikan karena mereka belum menjadi seorang Islam kaffah. Seorang Islam kaffah pasti ditakuti kaum kafir dan sekuler, dimanapun dirinya berada.
Perhatikan Rasulullaah saw, mendengar namanya beliau saja kaum kafir dan jahiliyah ”mati ketakutan”. ”Karena itu, Islam dapat tersebar di seluruh dunia. Nah, kita harus seperti Rasulullaah SAW,” tuturnya.
Penulis: Achmad Setiyaji (Wartawan Senior, HU Pikiran Rakyat 5 Januari 2002)